Aceh Dimataku...

Akhirnya saya bisa menyempatkan waktu untuk menuangan pikiran-pikiran saya atas bencana yang disebut-sebut sebagai bencana terburuk sepanjang zaman ini. Rasanya tidak plong hati saya apabila anak/cucu saya tidak bisa membaca di kemudian hari bencana ini dari perspektif saya yang sederhana ini.

Saya mengikuti peristiwa ini sebagian besar melalui televisi, khususnya CNN dan MetroTV (TV khusus berita Indonesia). Beberapa tambahan informasi lain datang dari Internet, koran serta stasiun TV lainnya. Agak sedikit lain dibanding bencana 11 Sepetember di New York yang sebagian besar saya ikuti melalui TV-TV Amerika serta Internet.

Posisi geografis saya pada saat kedua bencana itu terjadi juga cukup unik. Di Samarinda, Indonesia ketika tsunami, serta di Akron, Ohio, USA sewaktu 11 September. Mungkin saya termasuk beruntung karena posisi seperti ini, jadi saya cukup dekat dengan lokasi peristiwa, tapi cukup jauh untuk tidak terkena dampak fisiknya secara langsung. Namun sangat dekat dengan hati bangsa yang tertimpa tragedi.

Saya ada di Amerika ketika bangsa tersebut tercabik-cabik serta dipenuhi amarah setelah simbol kebanggaan bangsanya ditabrak oleh Osama bin Laden. Di Indonesia, sama. Saya ikut merasakan bagaimana air mata menetes di pelupuk mata hampir seluruh rakyat Indonesia menyaksikan gambar-gambar vulgar yang menyayat hati dari Aceh. Atmosfir yang timbul sangat berbeda dengan keadaan Indonesia beberapa waktu sebelumnya, terpecah-belah karena politik.

Saya pribadi merasa jadi semakin dalam menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Penuh rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air yang jauh lebih intensif dibanding hari-hari biasa. Menyaksikan hampir seluruh dunia ikut membantu dan bahkan lebih bersemangat membantu dari rekan-rekan dari dalam negeri membuat hati seakan tersayat sembilu. Bangga bahwa negeri kita masih "dianggap" teman oleh bangsa lain, namun disaat yang bersamaan trenyuh melihat Aceh hancur lebur, hancur yang sebenar-benarnya hancur. Teman-teman saya yang kebetulan dapat kesempatan membantu kesana semua datang dengan cerita-cerita yang menyayat hati sekaligus seram...

Yang menarik, komunitas online Indonesia pun tak kalah aktif berkolaborasi lewat Internet dan wahana komunikasi lainnya. Laporan-laporan langsung dari front terdepan bencana bermunculan di TV, email, situs-situs Internet, SMS, dll. Live report yang tidak henti-hentinya mengalir. Hebat...

Tulisan pendek ini saya mulai buat beberapa minggu setelah bencana dan diselesaikan 4 bulan setelah bencana, ketika istri saya terbaring tak berdaya di rumah sakit dengan selang infus di tangan kanannya. Terasa betapa kita semua yang masih sehat ini, sebenarnya, sedang mendapat kelimpahan rahmat yang luar biasa besar dari Yang Diatas sana, bandingkan dengan anak-anak dan istri-istri yang kehilangan bapaknya, anaknya, saudaranya, temannya, ulamanya, semuanya di Aceh sana... di Srilangka sana...

Posting Komentar

0 Komentar