Paus Benediktus dalam pesan Natal tahun 2011 ini menyampaikan kekuatirannya atas semangat konsumerisme masyarakat yang telah mencapai tingkat yang begitu tinggi. Natal dirayakan dengan cara yang tidak pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya. Berbagi hadiah sebagai tanda kasih sayang & perhatian menjadi ajang berburu belanjaan yang penuh nuansa nafsu & keserakahan.
Contoh terakhir adalah terjadinya kekacauan saat peluncuran sepatu terbaru Nike bernama Air Jordan. Walau juga telah terjadi sebelumnya, namun kejadian yang sama di 2011 ini adalah puncak dari berbagai kejadian konsumerisme akut yang telah melanda masyarakat secara global. Antrian Blackberry yang rusuh di Jakarta adalah tanda bahwa batas geografis tidak membedakan perilaku masyarakat. Demikian juga perbedaan kultur & nilai yang ada di masyarakat. Sama saja orang Amerika dan orang Indonesia.
Antri belanja yang berujung rusuh mungkin belum bisa mengalahkan tingkat keparahan kerusuhan politik atau pembagian zakat misalnya. Namun siapa sangka bahwa penjualan sepatu seharga Rp 1,6 juta dan ponsel seharga Rp 3-4 juta bisa membawa massa ratusan bahkan ribuan berkumpul untuk antri dan menimbulkan kekacauan. Itu adalah barang mahal, bukan barang berharga bantingan. Mereka adalah kaum terpelajar, bukan rakyat kelas bawah yang terpaksa antri zakat menjelang lebaran.
Lalu apa penjelasan logis dari fenomena ini? Bisa jadi ini adalah puncak keberhasilan ilmu marketing yang makin canggih dan semakin masuk ke ranah psikologi sosial dan budaya. Branding & image building sudah sampai level demikian tinggi sehingga mampu menciptakan euforia buta tuli bagi masyarakat target market. Kalau memang demikian, mungkin sudah saatnya ilmu yang satu ini diberi batasan. Seperti banyak negara membatasi penelitian rekayasa bioteknologi karena masuk ke ranah perubahan genetika manusia.
Atau bisa juga penyebabnya adalah hal lain? Anda punya pendapat?
Contoh terakhir adalah terjadinya kekacauan saat peluncuran sepatu terbaru Nike bernama Air Jordan. Walau juga telah terjadi sebelumnya, namun kejadian yang sama di 2011 ini adalah puncak dari berbagai kejadian konsumerisme akut yang telah melanda masyarakat secara global. Antrian Blackberry yang rusuh di Jakarta adalah tanda bahwa batas geografis tidak membedakan perilaku masyarakat. Demikian juga perbedaan kultur & nilai yang ada di masyarakat. Sama saja orang Amerika dan orang Indonesia.
Antri belanja yang berujung rusuh mungkin belum bisa mengalahkan tingkat keparahan kerusuhan politik atau pembagian zakat misalnya. Namun siapa sangka bahwa penjualan sepatu seharga Rp 1,6 juta dan ponsel seharga Rp 3-4 juta bisa membawa massa ratusan bahkan ribuan berkumpul untuk antri dan menimbulkan kekacauan. Itu adalah barang mahal, bukan barang berharga bantingan. Mereka adalah kaum terpelajar, bukan rakyat kelas bawah yang terpaksa antri zakat menjelang lebaran.
Lalu apa penjelasan logis dari fenomena ini? Bisa jadi ini adalah puncak keberhasilan ilmu marketing yang makin canggih dan semakin masuk ke ranah psikologi sosial dan budaya. Branding & image building sudah sampai level demikian tinggi sehingga mampu menciptakan euforia buta tuli bagi masyarakat target market. Kalau memang demikian, mungkin sudah saatnya ilmu yang satu ini diberi batasan. Seperti banyak negara membatasi penelitian rekayasa bioteknologi karena masuk ke ranah perubahan genetika manusia.
Atau bisa juga penyebabnya adalah hal lain? Anda punya pendapat?
0 Komentar