Hati-Hati Menerapkan ISO

Mengapa sertifikasi ISO (International Organization for Standardization) begitu marak di Indonesia? Apakah fenomena ini hanya salah satu bentuk kultur bangsa kita yang selalu ingin mencari cara instan untuk maju?

ISO sendiri adalah suatu sertifikasi sistem manajemen berstandar internasional yang diperlukan oleh suatu organisasi agar produknya diterima oleh sebagian konsumen yang mensyaratkan. Namun sejatinya tidak semua konsumen internasional mempersyaratkan adanya sertifikasi ISO dari produsen pembuat produk atau penyedia jasa. Namun persepsi “ISO untuk menembus pasar dunia” terus tumbuh dan makin berkembang di Indonesia. Seakan-akan dengan bekal sertifikat ISO maka suatu produk atau jasa akan memiliki jaminan kualitas dan bisa menang bersaing di pasar. Hal ini sebenarnya lebih banyak berlaku bagi perusahaan berorientasi ekspor. Namun apakah juga berlaku di dalam negeri? Apakah misalnya sekolah yang memiliki ISO akan menjamin adanya penetrasi ke pasar yang lebih baik? Jangan-jangan euforia ini hanya bentuk kelatahan belaka?

Alasan penting lain yang membuat ISO laris manis di Indonesia adalah adanya persepsi bahwa dengan mendapat sertifikat ISO, maka suatu organisasi otomatis akan memiliki manajemen dengan standar internasional, manajemen yang mampu memberikan jaminan selalu menghasilkan barang atau jasa yang berkualitas. Keuntungan berlimpah akan dipetik jika manajemen berhasil meraih sertifikat ISO. Proses terpenuhinya berbagai standar dan persyaratan ISO dianggap akan secara cepat dan jitu menaikkan kualitas manajemen suatu organisasi. Kemudian dengan adanya ISO, semua menganggap bahwa manajemen suatu organisasi akan mampu secara konsisten menghasilkan barang atau jasa yang berkualitas tinggi.

Semua anggapan tersebut tentu saja ada benarnya bila melihat prinsip dan kegunaan sertifikasi ISO. Namun banyak yang lupa bahwa ISO tidak hanya berhubungan dengan masalah sertifikat, namun lebih dalam dari itu yakni masalah mentalitas suatu organisasi yang berorientasi pada kualitas. Jadi perubahan yang diharapkan ISO sejatinya adalah perubahan kultur organisasi dan bukan sekedar perombakan sistem kerja dan prosedur kerja semata.


Berdasarkan pengamatan di lapangan, hampir semua perusahaan ataupun institusi lain yang mengejar sertifikat ISO ternyata hanya berorientasi jangka pendek untuk mendapatkan selembar sertifikat belaka. Sertifikat ini kemudian digunakan sebagai bahan promosi dan untuk menaikkan status organisasi dimata masyarakat, bukan untuk menaikkan kualitas manajemen atau untuk merubah mentalitas organisasi.

Hal ini diperparah dengan salah kaprahnya praktek sertifikasi ISO di lapangan. Banyak konsultan yang mencari jalan pintas agar proses sertifikasi bisa berjalan mudah dan cepat akhirnya sekedar melakukan duplikasi sistem manajemen dari luar untuk diterapkan ke suatu organisasi lain. Ini adalah kesalahan yang sangat besar. Manajemen kualitas yang baik seharusnya tumbuh dan berakar dari kultur, kebiasaan, kenyataan riil yang ada di suatu organisasi. Fondasi itulah yang kemudian di-leverage sehingga terstandarisasi dan kemudian diberi sertifikan ISO. Jadi bukan kemudian dipaksa mengadopsi sistem manajemen baru (yang biasanya hanya copy paste dari organisasi sejenis lain yang telah tersertifikasi). Kesalahan besar ini kemudian menyebabkan ISO menjadi "susah" dan "menambah pekerjaan" bagi suatu organisasi. Kenapa? Karena mereka dipaksa keluar dari kebiasaa mereka dan melakoni kebiasaan lain.

Jujur saja, ini adalah karena ulah para konsultan yang ingin cepat dan mudah. Ini kemudian juga dipicu oleh keinginan organisasi agar bisa cepat dapat sertifikat dan dengan upaya paling minimal. Tentu saja sangat panjang proses yang harus dilalui jika seluruh pihak dalam organisasi harus pelan-pelan menggali lagi proses manajemen mereka sendiri dan menuliskannya kedalam format standar ISO. Namun sejatinya inilah hakikat ISO, memberikan jaminan pada pihak luar bahwa suatu organisasi menjalankan pekerjaannya dalam suatu sistem manajemen yang terstandar. Pekerjaan mereka sendiri, standar kerja mereka sendiri, bukan standar yang di copy dari pihak luar.

Prinsipnya, silahkan mencari sertifikat ISO kalau memang jelas sasaran yang ingin anda raih. Namun bertanyalah pada diri sendiri, cukup berhargakah uang yang akan dikeluarkan dan effort yang akan dilakukan dengan manfaat yang akan didapat?

Sebagai catatan, pada data tahun 2007 terdapat 951.486 organisasi yang telah tersertifikasi ISO 9001, 257.076 diantaranya ada di Cina. Tidak ada data dari Indonesia.

Posting Komentar

2 Komentar

Tikno mengatakan…
Yang tidak bisa dimanipulasi adalah output yang dihasilkan akan diuji secara alamiah oleh pengguna langsung (customer). Nantinya, waktu yang akan menentukan. Jika berkualitas maka akan lulus ujian waktu.

Salam dari Samarinda,
Tikno
Web Admin mengatakan…
Trm ksh mas. Betul sekali bhw penentu utama adalah pasar dan customer.